|
A. Pengertian Bahan Organik Tanah
Bahan
organik merupakan bahan-bahan yang dapat diperbaharui, didaur ulang, dirombak
oleh bakteri-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat digunakan oleh tanaman
tanpa mencemari tanah dan air. Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari
sisa-sisa tanaman dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan
pembentukan kembali. Bahan organik demikian berada dalam pelapukan aktif dan
menjadi mangsa serangan jasad mikro. Sebagai akibatnya bahan tersebut berubah
terus dan tidak mantap sehingga harus selalu diperbaharui melalui penambahan
sisa-sisa tanaman atau binatang.
Proses
dekomposisi memiliki kontrol dominan yang mengalami perubahan seiring dengan
waktu. Dekomposisi merupakan suatu rangkaian proses yang disebabkan oleh
interaksi dari proses fragmentasi, perubahan kimia, serta peluluhan. Pada saat
sampah mulai mengalami proses dekomposisi, massa sampah akan mengalami
penurunan secara eksponensial terhadap waktu. Sebagai contoh, sampah daun
teruraikan 30-70% dari massanya dalam tahun pertama dan sisanya dalam lima
hingga sepuluh tahun kemudian. Penurunan eksponensial dari massa sampah
menandakan bahwa terdapat proporsi konstan yang terurai setiap tahunnya.
B.
Faktor yang Mempengaruhi dekomposisi
Bahan Organik
Proses dekomposisi dikendalikan
oleh tiga tipe faktor, yaitu: kondisi lingkungan fisik, kualitas dan kuantitas
dari substrat yang tersedia untuk dekomposer, serta karakteristik dari
komunitas mikroba.
Kondisi Lingkungan Fisik
- Air / Kelembaban
Dekomposer
mengalami kondisi paling produktif dalam kondisi lembab yang hangat (pasokan
oksigen yang cukup tersedia) –kondisi yang menyebabkan tingkat dekomposisi yang
tinggi pada hutan tropis. Tingkat dekomposisi umumnya mengalami penurunan pada
kelembaban tanah yang kurang dari 30 sampai 50% dari massa kering –dikarenakan
penurunan ketebalan dari lapisan lembab pada permukaan tanah yang menyebabkan
penurunan kecepatan difusi substrat oleh mikroba. Proses dekomposisi juga
mengalami penurunan pada kadar kelembaban tanah yang tinggi (misalnya lebih
besar dari 100 hingga 150% dari massa kering). Pada kasus batangan pohon kayu
yang membusuk, terdapat lingkungan mikro yang unik dan umumnya memiliki kadar
air yang tinggi. Hal ini menyebabkan tingkat laju dekomposisi batangan pohon
ini menjadi terbatasi (dipengaruhi oleh jumlah pasokan oksigen). Tingkat
dekomposisi batangan kayu umumnya mengalami penurunan seiring dengan
meningkatnya diameter batang tersebut –karena ukuran batangan besar umumnya
memiliki lebih banyak uap air dan lebih sedikit oksigen.
- Properti Tanah (pH tanah)
Proses
dekomposisi terjadi lebih cepat pada kondisi netral daripada kondisi asam.
Peningkatan secara menyeluruh di tingkat dekomposisi pada pH yang lebih tinggi
mungkin mencerminkan adanya kompleksitas interaksi antar faktor, termasuk
perubahan dalam komposisi spesies tumbuhan dan terkait dengan perubahan dalam
kuantitas dan kualitas sampah. Terlepas dari penyebab perubahan keasaman dan
komposisi jenis tanaman yang terkait, pH rendah cenderung dikaitkan dengan
tingkat dekomposisi yang rendah.
- Temperatur (Suhu)
Temperatur
mempengaruhi proses dekomposisi secara langsung dengan meningkatkan aktivitas
mikroba dan secara tidak langsung dengan mengubah kelembaban tanah serta
kuantitas dan kualitas masukan bahan organik ke dalam tanah. Meningkatnya suhu
menyebabkan peningkatan eksponensial dalam proses respirasi mikroba pada rentang
temperatur yang luas –mempercepat mineralisasi karbon organik menjadi CO2.
Keadaan temperatur yang tinggi secara terus menerus menyebabkan proses
dekomposisi berlangsung dengan lebih cepat. Temperatur juga memiliki banyak
efek tidak langsung terhadap proses dekomposisi. Temperatur tinggi mengurangi
kelembaban tanah dengan meningkatkan proses evaporasi dan transpirasi.
Stimulasi aktivitas mikroba oleh temperatur yang hangat juga menginisiasikan
serangkaian perputaran umpan balik (feedback-loop) yang mempengaruhi
proses dekomposisi. Di sisi lain, pelepasan nutrisi oleh proses dekomposisi
pada temperatur tinggi meningkatkan kuantitas dan kualitas sampah yang
dihasilkan oleh tanaman –mengubah substrat yang tersedia untuk dekomposisi.
Temperatur yang tinggi juga meningkatkan tingkat pelapukan kimia, yang dalam
jangka pendek menyebabkan peningkatan pasokan nutrisi. Sebagian besar efek
tidak langsung dari temperatur menyebabkan terjadinya peningkatan respirasi
tanah pada suhu yang hangat dan memberikan kontribusi pada proses dekomposisi
yang lebih cepat (diamati pada kondisi iklim hangat).
- Mineral Lempung (liat)
Mineral
lempung (liat) dapat mengurangi tingkat dekomposisi terhadap bahan organik
tanah, sehingga dapat meningkatkan kandungan organik tanah. Lempung mengubah
lingkungan fisik tanah dengan meningkatkan kapasitas pegang air (water-holding
capacity). Hal ini mengakibatkan terjadinya pembatasan suplai oksigen yang
dapat mengurangi tingkat dekomposisi pada tanah lempung basah. Bahkan pada
kelembaban tanah yang sedang, mineral lempung dapat meningkatkan akumulasi
bahan organik dengan: mengikat bahan organik tanah; mengikat enzim mikroba; dan
mengikat produk aktivitas eksoenzim terlarut. Dapat dikatakan, efek akhir dari
pengikatan yang dilakukan oleh mineral lempung ini adalah perlindungan materi
organik tanah dan pengurangan tingkat dekomposisi.
- Gangguan pada Tanah (aksesbilitas)
Gangguan pada
tanah berpengaruh pada peningkatan dekomposisi dengan mempromosikan proses
aerasi serta mengekspos permukaan baru untuk proses penyerangan oleh mikroba.
Mekanisme dimana proses gangguan ini merangsang terjadinya dekomposisi pada
dasarnya sama pada semua skala; mulai dari pergerakan cacing di dalam tanah
sampai proses pengolahan tanah pada bidang pertanian. Peristiwa proses ini pada
hakikatnya mengganggu agregat tanah sehingga bahan organik yang terkandung di
dalamnya menjadi lebih terbuka terhadap oksigen dan kolonisasi oleh mikroba.
Dampak gangguan pada tanah ini yang paling menonjol terlihat pada keadaan tanah
basah yang hangat –dimana proses aerasi yang telah meningkat ini besar
pengaruhnya terhadap proses dekomposisi.
Kualitas dan Kuantitas
Substrat
- Sampah
Perbedaan-perbedaan
yang terjadi pada tingkat dekomposisi pada dasarnya merupakan konsekuensi yang
logis dari jenis senyawa kimia yang hadir dalam serasah atau sampah tersebut.
Senyawa-senyawa ini dapat dikategorikan diantaranya sebagai senyawa metabolik
labil (seperti gula dan asam amino), senyawa struktural agak labil (seperti
selulosa dan hemiselulosa), dan senyawa struktural solid (seperti lignin dan
cutin). Sampah yang cepat membusuk (terdekomposisi) umumnya memiliki kuantitas
konsentrasi yang lebih tinggi pada substrat labil dan konsentrasi yang lebih
rendah pada senyawa solid. Terdapat lima sifat kimia bahan organik yang saling
berkaitan dalam menentukan kualitas substrat: ukuran molekul, jenis ikatan
kimia, keteraturan struktur, toksisitas, dan konsentrasi nutrisi. Setiap sifat
dapat berfungsi sebagai prediktor tingkat laju dekomposisi karena sifat-sifat
tersebut cenderung saling berkorelasi. Rasio perbandingan konsentrasi karbon
dengan nitrogen (rasio C : N) misalnya, sering digunakan sebagai indeks dari
kualitas sampah; karena sampah dengan rasio “C : N” yang rendah (konsentrasi
nitrogen tinggi) umumnya mengalami dekomposisi yang cepat. Namun, bukanlah
konsentrasi nitrogen dari sampah maupun ketersediaan nitrogen dalam tanah yang
secara langsung mempengaruhi tingkat dekomposisi pada ekosistem alami; hal ini
menunjukkan bahwa rasio “C : N” bukan merupakan properti kimiawi yang langsung
mengontrol proses dekomposisi dalam ekosistem. Untuk kondisi sampah solid,
rasio konsentrasi lignin atau “lignin : N” sering juga digunakan sebagai
prediktor tingkat dekomposisi –menunjukkan kembali atas peran penting kualitas
karbon dalam menentukan tingkat dekomposisi .
- Materi Organik Tanah
Materi
organik tanah dihasilkan dari sampah melalui proses fragmentasi oleh
invertebrata tanah serta perubahan kimia oleh mikroba. Setelah mikroba ini
mati, komponen chitin serta komponen solid lain pada dinding sel mikroba
tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan proporsi massa dari sampah (massa
sampah sebelum yang ditambah massa mikroba) dan reaksi-reaksi non-enzimatik
yang menghasilkan senyawa humic. Kesemua proses ini berakibat
terjadinya pengurangan kualitas bahan organik tanah secara bertahap (penuaan)
-rasio “C : N” juga mengalami penurunan seiring proses dekomposisi berjalan.
Dapat disimpulkan, pada proses dekomposisi terhadap materi organik tanah
(seperti halnya pada sampah), kualitas karbon dapat dikatakan merupakan alat
prediksi tingkat laju dekomposisi yang baik.
Sudah menjadi
sifat heterogen dari materi organik tanah yang membuatnya sulit dalam
pengidentifikasian kontrol kimiawi atas proses dekomposisi materi tersebut. Hal
ini dikarenakan adanya percampuran senyawa organik dari usia yang berbeda
dengan komposisi kimiawi. Komponen-komponen yang berbeda usia dari materi
organik tanah ini dapat dipisahkan melalui sentrifugasi kerapatan, karena
partikel baru bersifat kurang padat apabila dibandingkan dengan yang tua dan
cenderung tidak terikat pada partikel mineral tanah. Keadaan tanah dimana
memiliki proporsi materi organik tanah yang besar dalam pecahan ringan umumnya
memiliki tingkat dekomposisi yang tinggi. Sebagai alternatif lain, tanah dapat
dipisahkan secara kimiawi menjadi pecahan-pecahan yang berbeda, seperti senyawa
air terlarut, asam humic, dan asam fulvat –yang berbeda dalam usia
rata-rata dan kemudahan dalam penguraian. Materi organik tanah secara rata-rata
umumnya memiliki waktu tinggal (residence time) antara 20 sampai 50
tahun, meskipun ini dapat bervariasi pada kisaran antara 1 sampai 2 tahun pada
lahan budidaya hingga ribuan tahun pada lingkungan dengan tingkat
dekomposisi yang lambat.
Komposisi Komunitas
Mikroba dan Kapasitas Enzimatis
Aktivitas
enzim dalam tanah bergantung pada komposisi komunitas mikroba dan sifat dari
matriks tanah. Komposisi dari komunitas mikroba berperan sangat penting karena
komposisi tersebut sangat berpengaruh terhadap jenis dan tingkat produksi
enzim. Enzim pemecah substrat umum seperti protein dan selulosa dihasilkan oleh
begitu banyak jenis mikroba (dimana jenis enzim-enzim ini memang secara
universal sering djumpai di dalam tanah). Enzim-enzim yang terlibat di dalam
proses-proses yang hanya terjadi dalam lingkungan tertentu, seperti proses
denitrifikasi (atau produksi metana) dan oksidasi, tampak lebih sensitif
terhadap komposisi komunitas mikroba ini. Aktivitas enzim tanah juga
dipengaruhi oleh tingkat laju penonaktifan enzim di dalam tanah, baik oleh
degradasi oleh protease tanah atau dengan cara mengikat mineral tanah.
Peristiwa pengikatan enzim ke permukaan eksternal dari akar atau mikroba
mengakibatkan perpanjangan aktivitas enzim di dalam tanah; sedangkan pengikatan
terhadap partikel mineral dapat mengubah konfigurasi enzim atau memblokir lahan
aktif dari enzim tersebut sehingga mengurangi aktivitasnya.
Sebagian besar mikroba tanah
(termasuk jamur ericoid dan ektomikoriza) menghasilkan enzim (protease dan
peptidase) yang memecah protein menjadi asam amino. Produk-produk penguraian
ini dapat dengan segera diserap oleh mikroba dan digunakan baik untuk
memproduksi protein mikroba ataupun memberikan energi respirasi. Dikarenakan
protease merupakan subjek yang sering diserang oleh protease lain, umur hidup
enzim ini di dalam tanah relatif pendek, dan aktivitas protease ini
cenderung merupakan cerminan dari aktivitas mikroba.
Namun lain
halnya dengan fosfatase (enzim yang membelah fosfat dari senyawa fosfat
organik) yang dapat hidup lebih lama, sehingga aktivitas enzim ini di tanah
berkorelasi lebih kuat terhadap ketersediaan fosfat organik di dalam tanah
daripada dengan aktivitas mikroba.
Selulosa
merupakan penyusun senyawa kimia yang paling banyak ditemukan dari sampah
tanaman –senyawa ini terdiri dari rantai unit glukosa, sering memiliki panjang
ribuan unit, namun tidak ada glukosa ini yang tersedia sampai diaktivasikannya
oleh eksoenzim. Proses pemecahan selulosa memerlukan tiga sistem enzim yang
terpisah: endoselulase sebagai pemutus ikatan internal untuk
mengganggu struktur kristal selulosa; eksoselulase kemudian
bertindak sebagai pembelah unit disakarida dari ujung-ujung rantai –membentuk
selobiosa; yang kemudian diserap oleh mikroba dan dipecah secara intraseluler
menjadi glukosa oleh selobiase. Beberapa mikroba tanah,
termasuk sebagian besar fungi, dapat menghasilkan seluruh paket enzim selulase.
Organisme lain, seperti beberapa bakteri, hanya menghasilkan beberapa enzim
selulase dan harus berfungsi sebagai bagian dari konsorsium mikroba untuk
mendapatkan energi dari pemecahan selulosa.
Penguraian
komponen lignin membutuhkan proses yang perlahan-lahan dikarenakan hanya
beberapa organisme mikroba (terutama fungi) yang memproduksi enzim yang
diperlukan pada proses ini; dan mikroba inipun hanya menghasilkan enzim apabila
substrat yang lebih labil lainnya sudah tidak tersedia. Lignin terbentuk secara
non-enzimatik oleh reaksi kondensasi dengan fenol serta radikal bebas
–menciptakan struktur tidak beraturan yang tidak sesuai dengan spesifikasi untuk
teruraikan oleh enzim-enzim pada umumnya. Untuk alasan ini, enzim pendegradasi
lignin menggunakan radikal bebas, yang memiliki spesifisitas substrat yang
rendah. Oksigen diperlukan untuk menghasilkan radikal bebas ini, sehingga
proses penguraian lignin tidak dapat terjadi pada keadaan tanah anaerobik.
Dekomposer umumnya berinvestasi energi dalam memproduksi enzim pendegradasi
lignin ini.
C.
Faktor
yang Mempengaruhi Kandungan Bahan Organik Tanah
Menurut
Arsyad (1979) kandungan bahan organic tanah ditentukan oleh faktor-faktor bahan
induk (p), iklim (c), topografi (r), vegetasi (v) dan waktu (t).
a. Iklim
Unsur-unsur iklim yang
memengaruhi proses dekomposisi bahan organic tanah terutama unsur suhu dan curah hujan.
1) Suhu/Temperatur
Suhu akan berpengaruh terhadap
proses pelapukan bahan induk. Apabila fluktuasi suhu tinggi, maka proses
pelapukan akan berlangsung cepat sehingga pembentukan humus tanah juga cepat.
2) Curah Hujan
Curah hujan akan berpengaruh
terhadap kekuatan erosi dan pencucian tanah, sedangkan pencucian tanah yang
cepat menyebabkan tanah menjadi asam (pH tanah menjadi
rendah).
b. Organisme (Vegetasi,
Jasad Renik/Mikroorganisme)
Organisme sangat berpengaruh
terhadap proses dekomposisi bahan organik tanah dalam hal:
1) Membantu proses pelapukan
baik pelapukan organik maupun pelapukan kimiawi. Pelapukan organik adalah
pelapukan yang dilakukan oleh makhluk hidup (hewan dan tumbuhan), sedangkan
pelapukan kimiawi terjadi oleh proses kimia seperti batu kapur yang larut oleh
air.
2) Membantu proses pembentukan
humus. Tumbuhan akan menghasilkan dan menyisakan daun-daunan dan
ranting-ranting yang menumpuk di permukaan tanah. Daun dan ranting itu akan
membusuk dengan bantuan jasad renik/mikroorganisme yang ada di dalam tanah.
3) Pengaruh jenis vegetasi
terhadap sifat-sifat tanah sangat nyata terjadi di daerah beriklim sedang
seperti di Eropa dan Amerika. Vegetasi hutan dapat membentuk tanah hutan dengan
warna merah, sedangkan vegetasi rumput membentuk tanah berwarna hitam karena
banyak kandungan bahan organik yang berasal dari akar-akar dan sisa-sisa
rumput.
4) Kandungan unsur-unsur kimia
yang terdapat pada tanaman berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah. Contoh,
jenis tanaman cemara akan memberi unsur-unsur kimia seperti Ca, Mg, dan K yang
relatif rendah, akibatnya tanah di bawah pohon cemara, derajat keasamannya
lebih tinggi daripada tanah di bawah pohon jati.
c. Bahan Induk
Bahan induk
terdiri atas batuan vulkanik, batuan beku, batuan sedimen (endapan), dan batuan
metamorf. Batuan induk itu akan hancur menjadi bahan induk, kemudian akan
mengalami pelapukan dan menjadi tanah.
Tanah yang
terdapat di permukaan Bumi sebagian memperlihatkan sifat (terutama sifat kimia)
yang sama dengan bahan induknya. Bahan induk terkadang masih terlihat pada
tanah baru, misalnya tanah bertekstur pasir berasal dari bahan induk yang
kandungan pasirnya tinggi. Susunan kimia dan mineral bahan induk akan
memengaruhi intensitas tingkat pelapukan dan vegetasi di atasnya. Bahan induk
yang banyak mengandung unsur Ca akan membentuk tanah dengan kadar ion Ca yang
banyak pula, akibatnya pencucian asam silikat dapat dihindari dan sebagian lagi
dapat membentuk tanah yang berwarna kelabu. Sebaliknya bahan induk yang kurang
kandungan kapurnya membentuk tanah yang warnanya lebih merah.
d. Topografi/Relief
Daerah yang
memiliki topografi miring dan berbukit, lapisan tanahnya lebih tipis karena
tererosi, sedangkan daerah yang datar lapisan tanahnya tebal karena terjadi
sedimentasi.
.
Tanah
merupakan benda alam yang terus-menerus berubah, akibat pelapukan dan pencucian
yang terus-menerus. Oleh karena itu, tanah akan menjadi semakin tua. Mineral
yang banyak mengandung unsur hara telah habis mengalami pelapukan, sehingga
tinggal mineral yang sukar lapuk seperti kuarsa. Karena proses pembentukan
tanah yang terus berjalan, maka induk tanah berubah berturut-turut menjadi
tanah muda, tanah dewasa, dan tanah tua.
Lamanya waktu
yang diperlukan untuk pembentukan bahan organic tanah berbeda-beda. Bahan.induk
vulkanik yang lepas-lepas seperti abu vulkanik memerlukan waktu 100 tahun untuk
membentuk bahan organic tanah muda dan 1.000–10.000 tahun untuk membentuk tanah
dewasa. Dengan melihat perbedaan sifat faktor-faktor pembentuk tanah tersebut,
pada suatu tempat tentunya akan menghasilkan ciri dan jenis tanah yang
berbeda-beda pula. Sifat dan jenis tanah sangat tergantung pada sifat-sifat
faktor pembentukan tanah. Kepulauan Indonesia mempunyai berbagai tipe kondisi
alam yang menyebabkan adanya perbedaan sifat dan jenis tanah di berbagai
wilayah, akibatnya tingkat kesuburan tanah di Indonesia juga berbeda-beda.
Sumber Referensi :
Arsyad,S. 1979.
Konservasi Tanah.Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian,IPB. Bogor
http://dbabipress.wordpress.com/2010/09/22/dekomposisi-heterogenitas-temporal-dan-spasial-serta-faktor-pengendali/
*
diakses tanggal 09 Maret 2013
http://endrymesuji.blogspot.com/2012/12/peranan-bahan-organik-tanah.html
*
diakses tanggal 09 Maret 2013
http://budisma.web.id/materi/sma/geografi/proses-pembentukan-tanah/
* diakses tanggal 09 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar