Minggu, 10 Maret 2013

Pengelolaan Bahan Organik


  A.   Pengertian Bahan Organik Tanah
Bahan organik merupakan bahan-bahan yang dapat diperbaharui, didaur ulang, dirombak oleh bakteri-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat digunakan oleh tanaman tanpa mencemari tanah dan air. Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan organik demikian berada dalam pelapukan aktif dan menjadi mangsa serangan jasad mikro. Sebagai akibatnya bahan tersebut berubah terus dan tidak mantap sehingga harus selalu diperbaharui melalui penambahan sisa-sisa tanaman atau binatang.
Proses dekomposisi memiliki kontrol dominan yang mengalami perubahan seiring dengan waktu. Dekomposisi merupakan suatu rangkaian proses yang disebabkan oleh interaksi dari proses fragmentasi, perubahan kimia, serta peluluhan. Pada saat sampah mulai mengalami proses dekomposisi, massa sampah akan mengalami penurunan secara eksponensial terhadap waktu. Sebagai contoh, sampah daun teruraikan 30-70% dari massanya dalam tahun pertama dan sisanya dalam lima hingga sepuluh tahun kemudian. Penurunan eksponensial dari massa sampah menandakan bahwa terdapat proporsi konstan yang terurai setiap tahunnya.

B.     Faktor yang Mempengaruhi dekomposisi Bahan Organik
Proses dekomposisi dikendalikan oleh tiga tipe faktor, yaitu: kondisi lingkungan fisik, kualitas dan kuantitas dari substrat yang tersedia untuk dekomposer, serta karakteristik dari komunitas mikroba.

Kondisi Lingkungan Fisik
  • Air / Kelembaban
Dekomposer mengalami kondisi paling produktif dalam kondisi lembab yang hangat (pasokan oksigen yang cukup tersedia) –kondisi yang menyebabkan tingkat dekomposisi yang tinggi pada hutan tropis. Tingkat dekomposisi umumnya mengalami penurunan pada kelembaban tanah yang kurang dari 30 sampai 50% dari massa kering –dikarenakan penurunan ketebalan dari lapisan lembab pada permukaan tanah yang menyebabkan penurunan kecepatan difusi substrat oleh mikroba. Proses dekomposisi juga mengalami penurunan pada kadar kelembaban tanah yang tinggi (misalnya lebih besar dari 100 hingga 150% dari massa kering). Pada kasus batangan pohon kayu yang membusuk, terdapat lingkungan mikro yang unik dan umumnya memiliki kadar air yang tinggi. Hal ini menyebabkan tingkat laju dekomposisi batangan pohon ini menjadi terbatasi (dipengaruhi oleh jumlah pasokan oksigen). Tingkat dekomposisi batangan kayu umumnya mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya diameter batang tersebut –karena ukuran batangan besar umumnya memiliki lebih banyak uap air dan lebih sedikit oksigen.
  • Properti Tanah (pH tanah)
Proses dekomposisi terjadi lebih cepat pada kondisi netral daripada kondisi asam. Peningkatan secara menyeluruh di tingkat dekomposisi pada pH yang lebih tinggi mungkin mencerminkan adanya kompleksitas interaksi antar faktor, termasuk perubahan dalam komposisi spesies tumbuhan dan terkait dengan perubahan dalam kuantitas dan kualitas sampah. Terlepas dari penyebab perubahan keasaman dan komposisi jenis tanaman yang terkait, pH rendah cenderung dikaitkan dengan tingkat dekomposisi yang rendah.
  • Temperatur (Suhu)
Temperatur mempengaruhi proses dekomposisi secara langsung dengan meningkatkan aktivitas mikroba dan secara tidak langsung dengan mengubah kelembaban tanah serta kuantitas dan kualitas masukan bahan organik ke dalam tanah. Meningkatnya suhu menyebabkan peningkatan eksponensial dalam proses respirasi mikroba pada rentang temperatur yang luas –mempercepat mineralisasi karbon organik menjadi CO2. Keadaan temperatur yang tinggi secara terus menerus menyebabkan proses dekomposisi berlangsung dengan lebih cepat. Temperatur juga memiliki banyak efek tidak langsung terhadap proses dekomposisi. Temperatur tinggi mengurangi kelembaban tanah dengan meningkatkan proses evaporasi dan transpirasi. Stimulasi aktivitas mikroba oleh temperatur yang hangat juga menginisiasikan serangkaian perputaran umpan balik (feedback-loop) yang mempengaruhi proses dekomposisi. Di sisi lain, pelepasan nutrisi oleh proses dekomposisi pada temperatur tinggi meningkatkan kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan oleh tanaman –mengubah substrat yang tersedia untuk dekomposisi. Temperatur yang tinggi juga meningkatkan tingkat pelapukan kimia, yang dalam jangka pendek menyebabkan peningkatan pasokan nutrisi. Sebagian besar efek tidak langsung dari temperatur menyebabkan terjadinya peningkatan respirasi tanah pada suhu yang hangat dan memberikan kontribusi pada proses dekomposisi yang lebih cepat (diamati pada kondisi iklim hangat).

  • Mineral Lempung (liat)
Mineral lempung (liat) dapat mengurangi tingkat dekomposisi terhadap bahan organik tanah, sehingga dapat meningkatkan kandungan organik tanah. Lempung mengubah lingkungan fisik tanah dengan meningkatkan kapasitas pegang air (water-holding capacity). Hal ini mengakibatkan terjadinya pembatasan suplai oksigen yang dapat mengurangi tingkat dekomposisi pada tanah lempung basah. Bahkan pada kelembaban tanah yang sedang, mineral lempung dapat meningkatkan akumulasi bahan organik dengan: mengikat bahan organik tanah; mengikat enzim mikroba; dan mengikat produk aktivitas eksoenzim terlarut. Dapat dikatakan, efek akhir dari pengikatan yang dilakukan oleh mineral lempung ini adalah perlindungan materi organik tanah dan pengurangan tingkat dekomposisi.
  • Gangguan pada Tanah (aksesbilitas)
Gangguan pada tanah berpengaruh pada peningkatan dekomposisi dengan mempromosikan proses aerasi serta mengekspos permukaan baru untuk proses penyerangan oleh mikroba. Mekanisme dimana proses gangguan ini merangsang terjadinya dekomposisi pada dasarnya sama pada semua skala; mulai dari pergerakan cacing di dalam tanah sampai proses pengolahan tanah pada bidang pertanian. Peristiwa proses ini pada hakikatnya mengganggu agregat tanah sehingga bahan organik yang terkandung di dalamnya menjadi lebih terbuka terhadap oksigen dan kolonisasi oleh mikroba. Dampak gangguan pada tanah ini yang paling menonjol terlihat pada keadaan tanah basah yang hangat –dimana proses aerasi yang telah meningkat ini besar pengaruhnya terhadap proses dekomposisi.

Kualitas dan Kuantitas Substrat
  • Sampah
Perbedaan-perbedaan yang terjadi pada tingkat dekomposisi pada dasarnya merupakan konsekuensi yang logis dari jenis senyawa kimia yang hadir dalam serasah atau sampah tersebut. Senyawa-senyawa ini dapat dikategorikan diantaranya sebagai senyawa metabolik labil (seperti gula dan asam amino), senyawa struktural agak labil (seperti selulosa dan hemiselulosa), dan senyawa struktural solid (seperti lignin dan cutin). Sampah yang cepat membusuk (terdekomposisi) umumnya memiliki kuantitas konsentrasi yang lebih tinggi pada substrat labil dan konsentrasi yang lebih rendah pada senyawa solid. Terdapat lima sifat kimia bahan organik yang saling berkaitan dalam menentukan kualitas substrat: ukuran molekul, jenis ikatan kimia, keteraturan struktur, toksisitas, dan konsentrasi nutrisi. Setiap sifat dapat berfungsi sebagai prediktor tingkat laju dekomposisi karena sifat-sifat tersebut cenderung saling berkorelasi. Rasio perbandingan konsentrasi karbon dengan nitrogen (rasio C : N) misalnya, sering digunakan sebagai indeks dari kualitas sampah; karena sampah dengan rasio “C : N” yang rendah (konsentrasi nitrogen tinggi) umumnya mengalami dekomposisi yang cepat. Namun, bukanlah konsentrasi nitrogen dari sampah maupun ketersediaan nitrogen dalam tanah yang secara langsung mempengaruhi tingkat dekomposisi pada ekosistem alami; hal ini menunjukkan bahwa rasio “C : N” bukan merupakan properti kimiawi yang langsung mengontrol proses dekomposisi dalam ekosistem. Untuk kondisi sampah solid, rasio konsentrasi lignin atau “lignin : N” sering juga digunakan sebagai prediktor tingkat dekomposisi –menunjukkan kembali atas peran penting kualitas karbon dalam menentukan tingkat dekomposisi .
  • Materi Organik Tanah
Materi organik tanah dihasilkan dari sampah melalui proses fragmentasi oleh invertebrata tanah serta perubahan kimia oleh mikroba. Setelah mikroba ini mati, komponen chitin serta komponen solid lain pada dinding sel mikroba tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan proporsi massa dari sampah (massa sampah sebelum yang ditambah massa mikroba) dan reaksi-reaksi non-enzimatik yang menghasilkan senyawa humic. Kesemua proses ini berakibat terjadinya pengurangan kualitas bahan organik tanah secara bertahap (penuaan) -rasio “C : N” juga mengalami penurunan seiring proses dekomposisi berjalan. Dapat disimpulkan, pada proses dekomposisi terhadap materi organik tanah (seperti halnya pada sampah), kualitas karbon dapat dikatakan merupakan alat prediksi tingkat laju dekomposisi yang baik.
Sudah menjadi sifat heterogen dari materi organik tanah yang membuatnya sulit dalam pengidentifikasian kontrol kimiawi atas proses dekomposisi materi tersebut. Hal ini dikarenakan adanya percampuran senyawa organik dari usia yang berbeda dengan komposisi kimiawi. Komponen-komponen yang berbeda usia dari materi organik tanah ini dapat dipisahkan melalui sentrifugasi kerapatan, karena partikel baru bersifat kurang padat apabila dibandingkan dengan yang tua dan cenderung tidak terikat pada partikel mineral tanah. Keadaan tanah dimana memiliki proporsi materi organik tanah yang besar dalam pecahan ringan umumnya memiliki tingkat dekomposisi yang tinggi. Sebagai alternatif lain, tanah dapat dipisahkan secara kimiawi menjadi pecahan-pecahan yang berbeda, seperti senyawa air terlarut, asam humic, dan asam fulvat –yang berbeda dalam usia rata-rata dan kemudahan dalam penguraian. Materi organik tanah secara rata-rata umumnya memiliki waktu tinggal (residence time) antara 20 sampai 50 tahun, meskipun ini dapat bervariasi pada kisaran antara 1 sampai 2 tahun pada lahan budidaya hingga ribuan tahun pada  lingkungan dengan tingkat dekomposisi yang lambat.

Komposisi Komunitas Mikroba dan Kapasitas Enzimatis
Aktivitas enzim dalam tanah bergantung pada komposisi komunitas mikroba dan sifat dari matriks tanah. Komposisi dari komunitas mikroba berperan sangat penting karena komposisi tersebut sangat berpengaruh terhadap jenis dan tingkat produksi enzim. Enzim pemecah substrat umum seperti protein dan selulosa dihasilkan oleh begitu banyak jenis mikroba (dimana jenis enzim-enzim ini memang secara universal sering djumpai di dalam tanah). Enzim-enzim yang terlibat di dalam proses-proses yang hanya terjadi dalam lingkungan tertentu, seperti proses denitrifikasi (atau produksi metana) dan oksidasi, tampak lebih sensitif terhadap komposisi komunitas mikroba ini. Aktivitas enzim tanah juga dipengaruhi oleh tingkat laju penonaktifan enzim di dalam tanah, baik oleh degradasi oleh protease tanah atau dengan cara mengikat mineral tanah. Peristiwa pengikatan enzim ke permukaan eksternal dari akar atau mikroba mengakibatkan perpanjangan aktivitas enzim di dalam tanah; sedangkan pengikatan terhadap partikel mineral dapat mengubah konfigurasi enzim atau memblokir lahan aktif dari enzim tersebut sehingga mengurangi aktivitasnya.
Sebagian besar mikroba tanah (termasuk jamur ericoid dan ektomikoriza) menghasilkan enzim (protease dan peptidase) yang memecah protein menjadi asam amino. Produk-produk penguraian ini dapat dengan segera diserap oleh mikroba dan digunakan baik untuk memproduksi protein mikroba ataupun memberikan energi respirasi. Dikarenakan protease merupakan subjek yang sering diserang oleh protease lain, umur hidup enzim  ini di dalam tanah relatif pendek, dan aktivitas protease ini cenderung merupakan cerminan dari aktivitas mikroba.
Namun lain halnya dengan fosfatase (enzim yang membelah fosfat dari senyawa fosfat organik) yang dapat hidup lebih lama, sehingga aktivitas enzim ini di tanah berkorelasi lebih kuat terhadap ketersediaan fosfat organik di dalam tanah daripada dengan aktivitas mikroba.
Selulosa merupakan penyusun senyawa kimia yang paling banyak ditemukan dari sampah tanaman –senyawa ini terdiri dari rantai unit glukosa, sering memiliki panjang ribuan unit, namun tidak ada glukosa ini yang tersedia sampai diaktivasikannya oleh eksoenzim. Proses pemecahan selulosa memerlukan tiga sistem enzim yang terpisah: endoselulase sebagai pemutus ikatan internal untuk mengganggu struktur kristal selulosa; eksoselulase kemudian bertindak sebagai pembelah unit disakarida dari ujung-ujung rantai –membentuk selobiosa; yang kemudian diserap oleh mikroba dan dipecah secara intraseluler menjadi glukosa oleh selobiase. Beberapa mikroba tanah, termasuk sebagian besar fungi, dapat menghasilkan seluruh paket enzim selulase. Organisme lain, seperti beberapa bakteri, hanya menghasilkan beberapa enzim selulase dan harus berfungsi sebagai bagian dari konsorsium mikroba untuk mendapatkan energi dari pemecahan selulosa.
Penguraian komponen lignin membutuhkan proses yang perlahan-lahan dikarenakan hanya beberapa organisme mikroba (terutama fungi) yang memproduksi enzim yang diperlukan pada proses ini; dan mikroba inipun hanya menghasilkan enzim apabila substrat yang lebih labil lainnya sudah tidak tersedia. Lignin terbentuk secara non-enzimatik oleh reaksi kondensasi dengan fenol serta radikal bebas –menciptakan struktur tidak beraturan yang tidak sesuai dengan spesifikasi untuk teruraikan oleh enzim-enzim pada umumnya. Untuk alasan ini, enzim pendegradasi lignin menggunakan radikal bebas, yang memiliki spesifisitas substrat yang rendah. Oksigen diperlukan untuk menghasilkan radikal bebas ini, sehingga proses penguraian lignin tidak dapat terjadi pada keadaan tanah anaerobik. Dekomposer umumnya berinvestasi energi dalam memproduksi enzim pendegradasi lignin ini.

C.    Faktor yang Mempengaruhi Kandungan Bahan Organik Tanah

Menurut Arsyad (1979) kandungan bahan organic tanah ditentukan oleh faktor-faktor bahan induk (p), iklim (c), topografi (r), vegetasi (v) dan waktu (t).  
a. Iklim
Unsur-unsur iklim yang memengaruhi proses dekomposisi bahan organic tanah terutama unsur suhu dan curah hujan.
1) Suhu/Temperatur
Suhu akan berpengaruh terhadap proses pelapukan bahan induk. Apabila fluktuasi suhu tinggi, maka proses pelapukan akan berlangsung cepat sehingga pembentukan humus tanah juga cepat.
2) Curah Hujan
Curah hujan akan berpengaruh terhadap kekuatan erosi dan pencucian tanah, sedangkan pencucian tanah yang cepat menyebabkan tanah menjadi asam (pH tanah menjadi rendah).
b. Organisme (Vegetasi, Jasad Renik/Mikroorganisme)
Organisme sangat berpengaruh terhadap proses dekomposisi bahan organik tanah dalam hal:
1) Membantu proses pelapukan baik pelapukan organik maupun pelapukan kimiawi. Pelapukan organik adalah pelapukan yang dilakukan oleh makhluk hidup (hewan dan tumbuhan), sedangkan pelapukan kimiawi terjadi oleh proses kimia seperti batu kapur yang larut oleh air.
2) Membantu proses pembentukan humus. Tumbuhan akan menghasilkan dan menyisakan daun-daunan dan ranting-ranting yang menumpuk di permukaan tanah. Daun dan ranting itu akan membusuk dengan bantuan jasad renik/mikroorganisme yang ada di dalam tanah.
3) Pengaruh jenis vegetasi terhadap sifat-sifat tanah sangat nyata terjadi di daerah beriklim sedang seperti di Eropa dan Amerika. Vegetasi hutan dapat membentuk tanah hutan dengan warna merah, sedangkan vegetasi rumput membentuk tanah berwarna hitam karena banyak kandungan bahan organik yang berasal dari akar-akar dan sisa-sisa rumput.
4) Kandungan unsur-unsur kimia yang terdapat pada tanaman berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah. Contoh, jenis tanaman cemara akan memberi unsur-unsur kimia seperti Ca, Mg, dan K yang relatif rendah, akibatnya tanah di bawah pohon cemara, derajat keasamannya lebih tinggi daripada tanah di bawah pohon jati.


c. Bahan Induk
Bahan induk terdiri atas batuan vulkanik, batuan beku, batuan sedimen (endapan), dan batuan metamorf. Batuan induk itu akan hancur menjadi bahan induk, kemudian akan mengalami pelapukan dan menjadi tanah.
Tanah yang terdapat di permukaan Bumi sebagian memperlihatkan sifat (terutama sifat kimia) yang sama dengan bahan induknya. Bahan induk terkadang masih terlihat pada tanah baru, misalnya tanah bertekstur pasir berasal dari bahan induk yang kandungan pasirnya tinggi. Susunan kimia dan mineral bahan induk akan memengaruhi intensitas tingkat pelapukan dan vegetasi di atasnya. Bahan induk yang banyak mengandung unsur Ca akan membentuk tanah dengan kadar ion Ca yang banyak pula, akibatnya pencucian asam silikat dapat dihindari dan sebagian lagi dapat membentuk tanah yang berwarna kelabu. Sebaliknya bahan induk yang kurang kandungan kapurnya membentuk tanah yang warnanya lebih merah.
d. Topografi/Relief
Daerah yang memiliki topografi miring dan berbukit, lapisan tanahnya lebih tipis karena tererosi, sedangkan daerah yang datar lapisan tanahnya tebal karena terjadi sedimentasi.
.
Tanah merupakan benda alam yang terus-menerus berubah, akibat pelapukan dan pencucian yang terus-menerus. Oleh karena itu, tanah akan menjadi semakin tua. Mineral yang banyak mengandung unsur hara telah habis mengalami pelapukan, sehingga tinggal mineral yang sukar lapuk seperti kuarsa. Karena proses pembentukan tanah yang terus berjalan, maka induk tanah berubah berturut-turut menjadi tanah muda, tanah dewasa, dan tanah tua.
Lamanya waktu yang diperlukan untuk pembentukan bahan organic tanah berbeda-beda. Bahan.induk vulkanik yang lepas-lepas seperti abu vulkanik memerlukan waktu 100 tahun untuk membentuk bahan organic tanah muda dan 1.000–10.000 tahun untuk membentuk tanah dewasa. Dengan melihat perbedaan sifat faktor-faktor pembentuk tanah tersebut, pada suatu tempat tentunya akan menghasilkan ciri dan jenis tanah yang berbeda-beda pula. Sifat dan jenis tanah sangat tergantung pada sifat-sifat faktor pembentukan tanah. Kepulauan Indonesia mempunyai berbagai tipe kondisi alam yang menyebabkan adanya perbedaan sifat dan jenis tanah di berbagai wilayah, akibatnya tingkat kesuburan tanah di Indonesia juga berbeda-beda.





Sumber Referensi :
Arsyad,S. 1979. Konservasi Tanah.Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian,IPB. Bogor



Tidak ada komentar:

Posting Komentar